Bakso Khalifatullah


Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobaknya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.

“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.

“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”

Ia tertawa. “Iya Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”

“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.

“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.

“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.

bakso khalifah cak nun

Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil, jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.

Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.

Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul. Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.

Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.

Tiga puluh tahun silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada penjual cendol yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan karena “Kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”

Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.

“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!

Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah toko kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya. Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”

Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”

Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece. Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen, Irjen, Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama.

Oleh: Emha Ainun Nadjib, dikutip dari buku Demokrasi La Roiba Fih, (jakarta: Gramedia, 2009)

Manusia, Mahkluk Tuhan Paling Unik


manusia makhluk tuhan paling unik
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling unik sekaligus sempurna. Unik karena memiliki kecenderungan gerak hidup yang multidimensional. Ia bisa bicara dengan beragam bahasa dan memiliki banyak ekspresi yang tidak dimiliki makhluk Tuhan yang lainnya, seperti tertawa serta menangis.

Khusus pada aspek ini manusia memiliki segudang keunikannya, bukan hanya pada dirinya sendiri tetapi juga dengan yang lain. Dengan seketika, manusia bisa merubah keadaan menjadi ceria, tawa, dan bahagia namun dengan seketika pula manusia secara tiba-tiba dapat menyulap keadaan menjadi tegang, haru, sedih bahkan histeris. Itulah manusia, makhluk yang kadang terlihat bisa mengendalikan bahkan mempengaruhi keadaan bagi yang lainnya.

Manusia juga dikatakan sebagai makhluk sempurna. Sebab makhluk yang satu ini memiliki kelengkapan makhluk hidup sehingga ia diberi amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kelengkapan itu ialah anugerah rasa, insting, hati dan akal. Pada makhluk lain, hanya aspek akal yang tidak dimiliki. Akan tetapi aspek yang satu ini telah mampu membuat manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna. Sebab akal, manusia telah mampu mendayagunakan segenap potensi hidup ini menjadi sesuatu yang dapat dimiliki, digunakan bahkan dikuasainya.

Akal juga yang telah menuntun manusia untuk mampu membedakan antara yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Sehingga ia dapat menjadikan segala sesuatu itu memiliki nilai manfaat dan dapat menunjuk pada sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat (buruk). Karena akal juga, manusia dibuat sebagai makhluk rumit yang multidimensional. Rumit karena manusia memiliki sejuta misteri yang tercermin pada karakter, sikap, pandangan, dan tindakannya. Antara satu orang dengan yang lain memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga membuatnya susah dipahami secara pasti, bukan hanya oleh orang lain bahkan oleh dirinya sendiri.

Mengenai hal itu, manusia sampai saat ini telah mencurahkan segenap perhatian, kemampuan dan usaha yang sangat besar untuk memahami dirinya sendiri. Bahkan Dr. A. Carrel dalam bukunya Man The Unknown (1986) pernah menulis bahwa para ilmuwan, sastrawan, filosof, dan ahli keruhanian berusaha menyikap misteri manusia tetapi mereka hanya mampu mengetahui seberapa segi tertentu dari diri manusia. Carrel mengaku bahwa, kita tidak mampu manusia secara utuh. Sebab yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia memiliki bagian-bagian tertentu, itu pun masih dibagi-bagi lagi menurut tata cara pandang kita sendiri.

Pada hakikatnya, semua pertanyaan yang dilontarkan oleh manusia untuk mempelajari manusia yang lahir dalam dirinya sendiri sampai sekarang masih belum dapat terjawabkan. Itulah mengapa penulis menyebut manusia sebagai makhluk yang unik, rumit juga multidimensional. Namun menurut penulis, apa yang telah diberikan oleh Tuhan tersebut semata-mata bukan hanya sekedar anugerah terbesar bagi makhluk dari semua makhluk di dunia. Akan tetapi bersamaan dengan itu sesungguhnya telah tersimpan segudang misteri akan potensi-potensi yang besar di dalam diri manusia.

Sebab sesuatu yang susah dipahami, bahkan pengetahuan manusia sampai sekarang, pastilah sesuatu yang memang tidak akan habis misterinya sampai akhir waktu. Jika sesuatu misteri memiliki kadar dan tingkat “kemisteriaanya” yang tidak bisa habis dikuak sampai akhir masa, pastilah sesuatu itu memiliki rahasia potensi yang sangat besar pula. Baik itu tugas, peran, tanggung jawab bahkan amanahnya sebagai sesuatu yang telah mampu menyimpan sejuta misteri. Dan yang paling kita ketahui dari tujuan penciptaan manusia oleh Tuhan tiada lain ialah menjadikannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

Khalifah Allah adalah pemimpin, pemandu, dan juga penyeru bagi seluruh makhluk lainnya. Padahal selain manusia, segala sesuatu di seluruh jagat ini juga menyimpan segudang misteri pengetahuan yang belum terungkap semuanya. Hal ini dapat berarti, selain manusia harus mampu memahami dirinya sendiri juga dituntut untuk dapat menyingkap rahasia seluruh pengetahuan di jagat ini sebagai bekal untuk menyandang title sebagai khalifah Allah.

Apa yang saya ungkapkan di atas tidak lebih agar kita sadar bahwa manusia ini memiliki sejuta misteri dan potensi diri. Kita tidak akan menjadi manusia sejati atau seutuhnya apabila tidak mampu memahami hakikat manusia, berikut segenap potensinya. Apa yang telah dianugerahkan Allah pada manusia melebihi makhluk lain, bukan semata-mata pemberian tanpa ada maksudnya.

Kita sebagai manusia dituntut untuk dapat menguak dan memahaminya, sehingga dapat mendayagunakan seluruh potensinya tersebut untuk kemaslahatan kehidupan. Mengetahui potensi-potensi yang ada dalam diri manusia mutlak harus diketahui oleh setiap orang tua atau calon orang tua. Hal ini diperlukan agar kita tidak buta terhadap potensi yang dimiliki oleh anak kita sendiri.

Untuk dapat mengetahui potensi tersebut, terlebih kita harus mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia. Sebab, unsur-unsur tersebutlah yang nantinya memainkan peran terhadap sejauh mana potensi manusia itu. Setiap unsur yang terdapat manusia tersebut memiliki potensi sendiri-sendiri yang apabila digali dan didayagunakan dapat membuat manusia cerdas secara seutuhnya. Nah, apa saja unsur potensi dalam diri manusia tersebut?. Sesuai dalam Al-Qur’an, yang juga diterangkan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an (1997) membagi unsur manusia itu ada 4 di antaranya: nafs, qalbu, ruh dan ‘aql.

Menurut Shihab, nafs dalam pandangan Al-Qur’an adalah sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia untuk berbuat baik atau buruk. Maksud Tuhan memberi nafs pada manusia tiada lain agar manusia dapat menangkap makna baik dan buruk. Selain itu, mendorongnya untuk dapat melakukan kebaikan juga keburukan. Hal ini berbeda dengan apa yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang cenderung negatif (diartikan sebagai “dorongan hati yang kuat dan berbuat kurang baik”).

Namun pada dasarnya, nafs adalah dorongan manusia untuk baik dan buruk. Al-Qur’an lebih menghargai nafs sebagai potensi dasar yang sesungguhnya lebih kuat segi positifnya ketimbang negatifnya. Akan tetapi, faktor eksternal atau daya tarik yang dimiliki oleh nafs lebih kuat daripada daya tarik yang dipunyai oleh kebaikan.

Kedua ialah qalbu, sebagaimana pengertian yang diberikan Shihab ialah sebuah wadah dari pembelajan, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dalam bahasa sehari-hari qalbu juga dapat disamakan dengan hati. Hati pada dasarnya ialah sumber rahasia dalam diri manusia. Di dalam hati, maksud dan tujuan atau niat manusia bersemayam. Makanya Al-Ghazali kemudian menetapkan hati sebagai wadah dari ilmu pengetahuan. Pengetahuan dari seluruh kebaikan, sebab pada dasarnya manusia itu memiliki kata hati dalam setiap tindakan.

Kata hati selalu mengarahkan pemiliknya pada kebaikan, makanya jika seseorang bingung hal yang paling baik dilakukan adalah menuruti kata hati. Sebab hati merupakan pantulan kebaikan yang disemprotkan oleh sifat-sifat Tuhan. Ada rasa kasih sayang, keadilan, empati, cinta, kebijaksanaan dan lainnya. Itu semua adalah isi dalam manusia.

Ketiga ialah ruh. Ruh ada yang mengartikan sebagai nyawa. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ruh adalah urusan Tuhan dan manusia tidak memiliki ilmu kecuali sedikit (QS Al-Sira’ : 85). Namun dapat dipahami bahwa ruh adalah makhluk spiritual sebagai inti kehidupan yang menyatu dengan badan. Dalam setiap diri kita pasti mempunyai ruh yang dapat jika dikatakan manusia hidup. Sebab ruh juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memberi hidup (nyawa).

Keempat ialah ‘aql. Dalam al-Qur’an. ‘aql memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (QS Al-‘Ankabut: 43), dorongan moral (QS. Al-“Anam: 151) atau daya pengetahuan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah (makna). Semuanya itu merupakan kerja daripada akal manusia. (anc)