Manusia adalah makhluk Tuhan
yang paling unik sekaligus sempurna. Unik karena memiliki kecenderungan gerak
hidup yang multidimensional. Ia bisa bicara dengan beragam bahasa dan memiliki
banyak ekspresi yang tidak dimiliki makhluk Tuhan yang lainnya, seperti tertawa
serta menangis.
Khusus pada aspek ini manusia
memiliki segudang keunikannya, bukan hanya pada dirinya sendiri tetapi juga
dengan yang lain. Dengan seketika, manusia bisa merubah keadaan menjadi ceria,
tawa, dan bahagia namun dengan seketika pula manusia secara tiba-tiba dapat
menyulap keadaan menjadi tegang, haru, sedih bahkan histeris. Itulah manusia, makhluk
yang kadang terlihat bisa mengendalikan bahkan mempengaruhi keadaan bagi yang
lainnya.
Manusia juga dikatakan sebagai
makhluk sempurna. Sebab makhluk yang satu ini memiliki kelengkapan makhluk
hidup sehingga ia diberi amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kelengkapan itu ialah anugerah rasa, insting, hati dan akal. Pada makhluk lain,
hanya aspek akal yang tidak dimiliki. Akan tetapi aspek yang satu ini telah
mampu membuat manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna. Sebab akal,
manusia telah mampu mendayagunakan segenap potensi hidup ini menjadi sesuatu
yang dapat dimiliki, digunakan bahkan dikuasainya.
Akal juga yang telah menuntun
manusia untuk mampu membedakan antara yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri.
Sehingga ia dapat menjadikan segala sesuatu itu memiliki nilai manfaat dan
dapat menunjuk pada sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat (buruk). Karena akal
juga, manusia dibuat sebagai makhluk rumit yang multidimensional. Rumit karena manusia
memiliki sejuta misteri yang tercermin pada karakter, sikap, pandangan, dan
tindakannya. Antara satu orang dengan yang lain memiliki potensi yang
berbeda-beda sehingga membuatnya susah dipahami secara pasti, bukan hanya oleh
orang lain bahkan oleh dirinya sendiri.
Mengenai hal itu, manusia
sampai saat ini telah mencurahkan segenap perhatian, kemampuan dan usaha yang
sangat besar untuk memahami dirinya sendiri. Bahkan Dr. A. Carrel dalam bukunya
Man The Unknown (1986) pernah menulis bahwa para ilmuwan, sastrawan,
filosof, dan ahli keruhanian berusaha menyikap misteri manusia tetapi mereka
hanya mampu mengetahui seberapa segi tertentu dari diri manusia. Carrel mengaku
bahwa, kita tidak mampu manusia secara utuh. Sebab yang kita ketahui hanyalah
bahwa manusia memiliki bagian-bagian tertentu, itu pun masih dibagi-bagi lagi
menurut tata cara pandang kita sendiri.
Pada hakikatnya, semua
pertanyaan yang dilontarkan oleh manusia untuk mempelajari manusia yang lahir
dalam dirinya sendiri sampai sekarang masih belum dapat terjawabkan. Itulah
mengapa penulis menyebut manusia sebagai makhluk yang unik, rumit juga
multidimensional. Namun menurut penulis, apa yang telah diberikan oleh Tuhan
tersebut semata-mata bukan hanya sekedar anugerah terbesar bagi makhluk dari
semua makhluk di dunia. Akan tetapi bersamaan dengan itu sesungguhnya telah tersimpan
segudang misteri akan potensi-potensi yang besar di dalam diri manusia.
Sebab sesuatu yang susah
dipahami, bahkan pengetahuan manusia sampai sekarang, pastilah sesuatu yang
memang tidak akan habis misterinya sampai akhir waktu. Jika sesuatu misteri
memiliki kadar dan tingkat “kemisteriaanya” yang tidak bisa habis dikuak sampai
akhir masa, pastilah sesuatu itu memiliki rahasia potensi yang sangat besar
pula. Baik itu tugas, peran, tanggung jawab bahkan amanahnya sebagai sesuatu
yang telah mampu menyimpan sejuta misteri. Dan yang paling kita ketahui dari tujuan
penciptaan manusia oleh Tuhan tiada lain ialah menjadikannya sebagai khalifah
Allah di muka bumi ini.
Khalifah Allah adalah
pemimpin, pemandu, dan juga penyeru bagi seluruh makhluk lainnya. Padahal selain
manusia, segala sesuatu di seluruh jagat ini juga menyimpan segudang misteri
pengetahuan yang belum terungkap semuanya. Hal ini dapat berarti, selain
manusia harus mampu memahami dirinya sendiri juga dituntut untuk dapat
menyingkap rahasia seluruh pengetahuan di jagat ini sebagai bekal untuk
menyandang title sebagai khalifah Allah.
Apa yang saya ungkapkan di
atas tidak lebih agar kita sadar bahwa manusia ini memiliki sejuta misteri dan
potensi diri. Kita tidak akan menjadi manusia sejati atau seutuhnya apabila
tidak mampu memahami hakikat manusia, berikut segenap potensinya. Apa yang
telah dianugerahkan Allah pada manusia melebihi makhluk lain, bukan semata-mata
pemberian tanpa ada maksudnya.
Kita sebagai manusia dituntut
untuk dapat menguak dan memahaminya, sehingga dapat mendayagunakan seluruh
potensinya tersebut untuk kemaslahatan kehidupan. Mengetahui potensi-potensi
yang ada dalam diri manusia mutlak harus diketahui oleh setiap orang tua atau
calon orang tua. Hal ini diperlukan agar kita tidak buta terhadap potensi yang
dimiliki oleh anak kita sendiri.
Untuk dapat mengetahui
potensi tersebut, terlebih kita harus mengetahui unsur-unsur yang terdapat
dalam diri manusia. Sebab, unsur-unsur tersebutlah yang nantinya memainkan
peran terhadap sejauh mana potensi manusia itu. Setiap unsur yang terdapat
manusia tersebut memiliki potensi sendiri-sendiri yang apabila digali dan
didayagunakan dapat membuat manusia cerdas secara seutuhnya. Nah, apa saja
unsur potensi dalam diri manusia tersebut?. Sesuai dalam Al-Qur’an, yang juga
diterangkan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an (1997)
membagi unsur manusia itu ada 4 di antaranya: nafs, qalbu, ruh dan ‘aql.
Menurut Shihab, nafs dalam
pandangan Al-Qur’an adalah sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan sempurna
yang berfungsi menampung serta mendorong manusia untuk berbuat baik atau buruk.
Maksud Tuhan memberi nafs pada manusia tiada lain agar manusia dapat menangkap
makna baik dan buruk. Selain itu, mendorongnya untuk dapat melakukan kebaikan
juga keburukan. Hal ini berbeda dengan apa yang diartikan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang cenderung negatif (diartikan sebagai “dorongan
hati yang kuat dan berbuat kurang baik”).
Namun pada dasarnya, nafs
adalah dorongan manusia untuk baik dan buruk. Al-Qur’an lebih menghargai nafs
sebagai potensi dasar yang sesungguhnya lebih kuat segi positifnya ketimbang
negatifnya. Akan tetapi, faktor eksternal atau daya tarik yang dimiliki oleh
nafs lebih kuat daripada daya tarik yang dipunyai oleh kebaikan.
Kedua ialah qalbu, sebagaimana
pengertian yang diberikan Shihab ialah sebuah wadah dari pembelajan, kasih sayang,
takut, dan keimanan. Dalam bahasa sehari-hari qalbu juga dapat disamakan dengan
hati. Hati pada dasarnya ialah sumber rahasia dalam diri manusia. Di dalam
hati, maksud dan tujuan atau niat manusia bersemayam. Makanya Al-Ghazali
kemudian menetapkan hati sebagai wadah dari ilmu pengetahuan. Pengetahuan dari
seluruh kebaikan, sebab pada dasarnya manusia itu memiliki kata hati dalam
setiap tindakan.
Kata hati selalu mengarahkan
pemiliknya pada kebaikan, makanya jika seseorang bingung hal yang paling baik dilakukan
adalah menuruti kata hati. Sebab hati merupakan pantulan kebaikan yang
disemprotkan oleh sifat-sifat Tuhan. Ada rasa kasih sayang, keadilan, empati,
cinta, kebijaksanaan dan lainnya. Itu semua adalah isi dalam manusia.
Ketiga ialah ruh. Ruh ada yang
mengartikan sebagai nyawa. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ruh adalah
urusan Tuhan dan manusia tidak memiliki ilmu kecuali sedikit (QS Al-Sira’ :
85). Namun dapat dipahami bahwa ruh adalah makhluk spiritual sebagai inti
kehidupan yang menyatu dengan badan. Dalam setiap diri kita pasti mempunyai ruh
yang dapat jika dikatakan manusia hidup. Sebab ruh juga dapat dipahami sebagai sesuatu
yang dapat memberi hidup (nyawa).
Keempat ialah ‘aql. Dalam al-Qur’an.
‘aql memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, sebagai daya untuk memahami
dan menggambarkan sesuatu (QS Al-‘Ankabut: 43), dorongan moral (QS. Al-“Anam:
151) atau daya pengetahuan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta
hikmah (makna). Semuanya itu merupakan kerja daripada akal manusia. (anc)